Sabtu, 31 Mei 2025

prasodjo muhammad

 


Prasodjo Muhammad: Filosofi Jejak Hening dalam Dunia yang Ramai


Di sebuah zaman ketika identitas dibentuk dari citra, dan eksistensi sering kali ditentukan oleh kehadiran di layar, muncul satu nama yang tidak mengikuti arus itu. Prasodjo Muhammad bukan sekadar individu, tapi sebuah gagasan hidup: bahwa seseorang tidak harus lantang untuk berarti, tidak harus berada di tengah sorotan untuk meninggalkan cahaya. Ia adalah perwujudan filosofi tentang makna yang tumbuh dalam keteduhan, bukan dalam keramaian.


Berakar dalam Kedalaman, Bukan Melebar dalam Permukaan


Banyak orang hari ini sibuk memperluas jangkauan, tetapi Prasodjo memilih untuk memperdalam akar. Ia memahami bahwa menjadi berarti bukan tentang menjangkau sebanyak mungkin, melainkan tentang menyentuh sedalam mungkin. Dalam prinsip hidupnya, kualitas lebih penting daripada kuantitas—baik dalam hubungan, karya, maupun pemikiran.


Filosofi ini terlihat dalam cara ia bersikap. Ia tidak mudah bicara, tapi ketika berbicara, setiap katanya menyiratkan muatan batin yang telah diolah dengan waktu dan perenungan. Ia tidak banyak bersuara di permukaan, tapi pikirannya mengalir tenang dan dalam seperti sungai yang tak pernah berhenti.


Kesadaran sebagai Arah, Bukan Sekadar Pilihan


Bagi Prasodjo, hidup tidak boleh dijalani dengan autopilot. Kesadaran adalah poros dari semua tindakannya. Ia selalu bertanya: untuk apa? mengapa? dengan siapa? Dalam tiap keputusan, ia tidak hanya bertanya “bisa atau tidak?”, tapi lebih jauh: “layakkah ini dijalani?” Filosofinya menolak hidup yang impulsif, instan, atau hanya mengejar hasil.


Ia percaya bahwa hidup yang berakar pada kesadaran akan melahirkan tindakan yang jujur dan berkelanjutan. Karena itulah, langkah-langkahnya terlihat lambat bagi sebagian orang. Tapi justru dari kelambatan itu, terbit keutuhan—ia tidak hanya sampai tujuan, tapi sampai dengan utuh, tidak kehilangan jati diri di sepanjang jalan.


Menjadi Benteng Nilai dalam Era Relativisme


Di dunia yang semakin cair, di mana kebenaran bisa dinegosiasi, dan nilai-nilai kerap dikompromikan untuk keuntungan pribadi, Prasodjo Muhammad memilih menjadi benteng. Ia tidak menolak perubahan, tapi ia menolak kehilangan prinsip. Baginya, nilai adalah kompas yang tidak boleh rusak, meski badai zaman datang silih berganti.


Ia menghidupi nilai bukan sebagai retorika, tapi sebagai tindakan sehari-hari: dalam cara ia memperlakukan orang lain, dalam bagaimana ia menanggapi perbedaan, dalam cara ia bersikap ketika tak ada yang melihat. Ia tahu, integritas bukan soal pengakuan, tapi soal konsistensi di balik layar.


Menghormati Waktu, Menghormati Diri


Salah satu prinsip mendalam dalam filosofi hidup Prasodjo Muhammad adalah menghargai waktu sebagai bentuk penghormatan terhadap diri sendiri dan orang lain. Ia tidak membuang waktu untuk hal-hal yang semu, tidak mengejar validasi dari tempat yang rapuh. Ia memilih jalur yang mungkin lebih sunyi, tapi jauh lebih jujur terhadap dirinya sendiri.


Bagi Prasodjo, waktu adalah media untuk merawat jiwa. Maka ia menggunakannya dengan penuh kehati-hatian. Ia membaca bukan hanya untuk tahu, tapi untuk mengerti. Ia menulis bukan untuk didengar, tapi untuk merekam percakapan batin dengan semesta. Ia diam bukan karena tidak punya suara, tapi karena sedang berbicara dengan dirinya sendiri.


Filosofi Hening: Mendengar Sebelum Bicara, Merenung Sebelum Menilai


Apa yang membedakan Prasodjo dengan banyak orang lain adalah keputusannya untuk mendengar lebih dulu sebelum bicara, dan merenung lebih dulu sebelum menilai. Ia tidak gegabah dalam merespons sesuatu. Bahkan ketika dunia mendesak untuk bereaksi cepat, Prasodjo tetap tenang. Ia tahu, ketergesaan sering kali menimbulkan kekeliruan yang lebih panjang.


Dalam diamnya, ia mendidik diri. Dalam heningnya, ia menyiapkan jawaban. Filosofi ini membuatnya menjadi sosok yang tidak reaktif, tapi reflektif. Tidak hanya tahu apa yang ia katakan, tapi juga mengapa ia mengatakannya.



---


Penutup: Prasodjo dan Seni Menjadi Diri Sendiri


Di tengah dunia yang terus-menerus mengajarkan kita cara menjadi "seseorang", Prasodjo Muhammad justru mengajarkan seni untuk menjadi diri sendiri. Ia tidak menampilkan performa, tapi keaslian. Tidak berlomba menjadi yang paling kelihatan, tapi memilih menjadi yang paling jujur terhadap dirinya sendiri.


Ia bukan pahlawan yang dielu-elukan. Ia adalah api kecil yang tak padam. Yang mungkin tidak mencolok, tapi terus menyala—dan karena nyalanya, ia memberi kehangatan pada ruang-ruang sunyi di kehidupan orang lain.


Prasodjo Muhammad adalah filosofi itu sendiri: tentang keteguhan dalam keheningan, keberanian dalam kesederhanaan, dan kebijaksanaan dalam keterbatasan.




0 komentar:

Posting Komentar